Pudarnya Nilai-nilai Agama - KATALOGBUKUONLINE
Headlines News :

Entertainment

Home » » Pudarnya Nilai-nilai Agama

Pudarnya Nilai-nilai Agama

Written By Pustakawan KBO on Minggu, 14 Maret 2010 | Minggu, Maret 14, 2010


Judul buku: Agama tanpa Penganut: Memudarnya Nilai-nilai Moralitas dan Signifikansi Pengembangan Teologi Kritis
Penulis: Abd A’la
Penerbit: Kanisius Yogyakarta
Cetakan: 1, 2010
Tebal: 158 halaman
Peresensi: Siti Muyassarotul Hafidzoh *

Di tengah gagap gempita arus informasi global yang terus menyeruak, manusia mengalami masa transformasi sosial dan kegelisahan psikologis yang luar biasa. Setiap hari, gambaran tentang peperangan, kemiskinan, bencana alam, dan terorisme disorotkan ke ruang-ruang tengah kita. Hidup terasa sesak dijejali berbagai krisis kemanusiaan yang terus berlangsung di hampir seluruh penjuru dan lorong dunia. Di tengah kondisi demikian, ternyata agama yang selama ini memberikan ketenangan dan kedamaian juga ikut larut menjadi part of problem, bagian pokok problem krisis sosial.

Doktrin agama dijadikan alat legitimasi untuk membaptis kemungkaran sosial. Tragedi-tragedi mengerikan, semisal Auschwitz, Rwanda, Bosnia, World Trade Center, bom Bali, hancurnya Afganistan dan Irak, serta konflik berdarah Israel-Palestina, merupakan epifeni buruk yang menyingkapkan apa yang bisa terjadi ketika kepekaan terhadap kesucian setiap manusia lain telah musnah. Agama justru tampak pesimistis dan mencerminkan kekerasan dan keputusasaan zaman.

Rentetan peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa agama merupakan spirit paling strategis dalam mengobarkan perang suci (the holy war). Dan, buku bertajuk Agama tanpa Penganut ini hadir sebagai bentuk kerisauan penulis atas fakta sosial yang sedang bergejolak dewasa ini. Penulis melihat bahwa tragedi konflik sosial horizontal dewasa ini tidak lagi dianggap sebagai pertarungan politik biasa, tetapi sebagai peperangan kosmis antara kebaikan dan kejahatan. Mereka sangat mencemaskan ancaman pemusnahan sehingga mereka membentengi identitas dengan membangkitkan kembali doktrin-doktrin dan praktik-praktik masa lampau.

Mereka telah mengubah mitos agama menjadi logos, baik dengan menyatakan bahwa ajaran mereka secara ilmiah benar atau mengubah mitologi mereka yang rumit menjadi satu ideologi yang efisien. Akibatnya, dalam praktiknya, mereka sering mengabaikan nilai-nilai tersuci dalam keimanan. Model keberagamaan berdasarkan realitas tersebut masih terjebak dalam konsep fiqh oriented. Semuanya dihukumi hitam-putih, halal-haram, Muslim-non-Muslim, dan stereotip diskriminatif lainnya. Inilah model beragama di tangan agamawan. Mereka fasih bicara agama, tetapi ”gagal” menemukan hikmah dan kebajikan dari agama. Mereka hafal A sampai Z tentang agama, tetapi itu hanya menjadi logos, al-ilm, pengetahuan, yang tak merasuk dalam jiwa. Kegagalan memahami agama inilah yang terus menyulut konflik horizontal tiada henti. Semua akan mengklaim agamanya sebagai satu-satunya jalan kebenaran (truth), jalan keselamatan (salvation), jalan kebahagiaan (happiness), sementara agama lain sebaliknya.

Kalau demikian, di mana kita melangkahkan jalan keberagamaan kita pada masa depan? Di sinilah penulis menawarkan konsep teologi kritis berupa agama cinta, yakni model beragama masa depan yang paling strategis. Agama cinta lahir bukan dari dan untuk rahim agama tertentu. Agama cinta lahir untuk menebarkan misi suci (sacred mission) kerahmatan lil’alamin berupa kebahagiaan, kedamaian, dan ketenteraman. Agama cinta tak lagi memandang batas-batas agama, suku, etnis, budaya, dan bangsa. Agama cinta menjelma payung terhadap semesta. Orang yang berteduh dalam payung cinta akan merasakan kehadiran-Nya sehingga kehidupannya tak lagi menampakkan kebencian dan kebengisan dengan yang lain. Konsep inilah yang disabdakan Nabi bahwa ”tidaklah sempurna iman kamu sekalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”.

Model inilah yang dipraktikkan dalam dakwah Nabi, baik di Mekkah maupun di Madinah. Walaupun beliau adalah pemimpin tertinggi Madinah, beliau tidak pernah memaksakan Islam dan syariahnya kepada Yahudi dan Nasrani. Semuanya berteduh di bawah payung Nabi. Bahkan, ketika orang musyrik yang sering melemparinya kotoran sakit, beliaulah orang yang pertama kali menjenguk musyrik tersebut. Ketika beliau menaklukkan kota Mekkah (fathu makkah), tak setetes pun darah mengalir, padahal sebelumnya mereka musuh besar Nabi. Inilah yang kemudian dipraktikkan Khulafau al-Rasyidin. Siapa tak takjub melihat Sang Khalifah Umar bin Khattab mengangkat beras dari baitul mal untuk diantarkan sendiri kepada rakyatnya yang sedang kelaparan.

Spirit cinta Nabi inilah kemudian yang dipraktikkan para Sufi Agung, seperti Rabiah Adawiyah, Abdul Qodir Jailany, dan Maulana Jalaluddin Rumi. Para sufi tersebut tidak hanya menebarkan kasih sayang terhadap sesama Muslim saja, tetapi juga lintas agama. Dalam Tariqohnya, Rumi tidak hanya dikelilingi murid-muridnya yang Muslim, tetapi juga dari orang Yahudi dan Nasrani. Dan, Rumi tidak tak pernah memaksakan Islamnya kepada kaum ahli kitab.
Mereka melihat jalan menuju Tuhan tak perlu dibatasi dan disekat oleh lembaga dan organisasi agama tertentu. Jalan menuju Tuhan adalah jalan menebarkan kasih sayang. Mengapa kita harus menyempitkan kasih Tuhan, yang meliputi langit dan bumi? Simaklah yang dikatakan Ibnu Arabi, sufi agung abad ke-13, ”Hatiku telah mampu menerima berbagai bentuk. Padang gembala rusa atau biara pendeta Kristen, dan kuil berhala, Kabah tempat peziarah, dan Kitab Taurat, dan Al Quran. Aku mengikuti agama cinta; ke manapun unta cinta membawaku, ke situlah agamaku dan keimananku”.

Spirit agama cinta inilah yang perlu ditegaskan sekarang ini. Pemahaman akan inklusivitas dan pluralitas beragama tanpa landasan cinta tak mungkin akan melahirkan toleransi dan dialog. Karena dengan cinta, beragama tidak lagi melihat konsep syariah, tetapi kasih sayang dan rasa kemanusiaan. Semua pemeluk agama adalah setara. Perbedaan dimaksudkan untuk menguji kita semua. Ujiannya adalah seberapa banyak kita memberikan kontribusi kebaikan kepada umat manusia. Setiap agama disuruh bersaing (fastabiqu) dengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanusiaan (al-khayrat). Dengan demikian, semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Buddha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah. Untuk itu, sangat urgen sekarang untuk mengusung agama cinta guna menebarkan kedamaian, ketenteraman, dan kesejahteraan antarsesama.

*Peneliti Sosial, Tinggal di Yogyakarta



Baca Online Google Books
Request Download Pratinjau Google Books
Silakan klik untuk membaca secara online atau mendownload file pratinjau terbatas buku ini dari Google Books.


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. KATALOGBUKUONLINE - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template